Muhammad Abdul Mun'im, The Conqueror of an Impossible Mission

Post a Comment
Oleh : @mfarisabulkhair • Kontributor Gen Saladin @gen.saladin t.me/gensaladin

Muhammad Abdul Mun'im, Kisah perjuangan diplomat mesir yang menembus ketidakmungkinan untuk membela Indonesia.


Kabar mengenai negeri muslim di Timur nun jauh yang bersimbah darah memperjuangkan kemerdekaannya telah terdengar hingga ke Jazirah Arab. Hal ini tentu saja membangkitkan semangat ukhuwah para Muslimin yang begitu anti terhadap segala bentuk penjajahan. Negara-negara Arab tak tinggal diam, dengan sigap mereka menyusun rencana guna menolong Indonesia. Tujuh Desember 1946, media-media Arab menyebutkan bahwa Liga Arab mengambil keputusan untuk merekomendasikan negara-negaranya mengakui kedaulatan Indonesia di Timur sana.

Kabar ini benar-benar menyesakkan dada negara-negara Barat. Belanda tidak tinggal diam, mereka mengerahkan segala upaya untuk menggagalkan rencana ini. Mulai dari melibatkan Inggris, menyebarkan mata-mata hingga ke pengujung negeri, dan melakukan pencekalan visa di sepanjang wilayah yang mereka kuasai. Melihat hal ini, Liga Arab kembali mengadakan musyawarah. Hasil rapat akhirnya sepakat bahwa diam-diam Liga Arab akan mengutus utusan Liga Arab yang jaraknya paling dekat dengan Indonesia.

Misi berbahaya itu diserahkan kepada Konsul Jenderal Mesir di Bombay (sekarang Mumbai), Muhammad Abdul Mun'im. Ia ditunjuk karena dipercaya dapat menunaikan amanat luar biasa ini. Ia mendapat panggilan dari Sekjen Liga Arab, Abdurrahman Azzam Pasya. Ia diperintahkan untuk segera kembali ke Mesir.

Sesampainya di Mesir, Mun'im langsung menuju ke kantor Azzam. Tanpa banyak bicara, Azzam pun menjelaskan amanat yang harus ditunaikan oleh Mun'im. Azzam berkata, "Saya ingin Anda berangkat ke Indonesia dengan membawa surat untuk Sukarno dan Hatta. Saya tak mau seorang pun mengetahui tugas ini. Ingat, tugas Anda sangat rahasia. Anda harus menyewa pesawat khusus yang akan membawa Anda ke Indonesia dan pesawat itu juga bisa membawa peti-peti yang berisikan senjata."

Usai mendengar uraian mengenai misinya. Ia langsung pulang menuju rumahnya untuk berpamitan dengan istrinya. Padahal, ia sudah begitu lama tak bersua dengan belahan jiwanya itu. Dengan penuh arti ia menatap, dengan lemah lembut ia berkata, "Istriku...ada yang ingin ku bicarakan. Saya mendapat tugas beberapa minggu. Saya tidak bisa menjelaskan seperti apa tugas itu."
.
Mun'im mengeluarkan sebuah amplop dari sakunya. Digenggam erat-erat jemari sang istri, diselipkan amplop itu, amplop yang berisi polis asuransi 5000 pounds Mesir. Dengan mata berkaca-kaca dan suara yang lirih Mun'im berkata, "Kalau saya pulang dari tugas dengan selamat maka kita akan membuka amplop ini dan ambil uangnya."
.
Keduanya diam membisu. Raut wajah berseri sang istri kini berubah menjadi lusuh dan kuyu. Tak terasa, malam semakin larut. Air mata penuh arti melewati pipi sang istri. Arti dari sebuah keberanian, kepasrahan, dan pengorbanan.
.
Usai sudah ia berpamitan dengan sang istri. Amanat besar kini menanti. Amanat untuk menyampaikan segenggam pesan sederhana untuk negeri nun jauh disana: Negeri Ini Tidak Sendiri, Bung!
.
Dengan mantap Mun'im melanjutkan langkahnya. Ia segera mengirim laporan kepada Azzam. Didalam laporan itu Mun'im menjelaskan bahwa ia telah sepakat dengan pilot India untuk menyewa pesawatnya yang kecil berjenis Dakota dengan dua motor penggerak. Tak hanya itu, Mun'im beralasan kepada kawan-kawan diplomatnya bahwa ia ingin berburu binatang ke Melaya. Hal ini ia lakukan untuk menghindari kecurigaan pejabat Inggris dan para diplomat asing di India.
.
Didalam laporan itu Mun'im juga menjelaskan mengenai skenario yang telah ia rancang bersama sang pilot. Setelah pesawat keluar dari kawasan udara Singapura, arah tujuan pesawat akan dibelokkan menuju Indonesia dengan alasan kerusakan mesin dan terpaksa melakukan pendaratan darurat di suatu tempat yang telah ditentukan oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia.
.
Skenario nekat Mun'im membuat Azzam kehabisan akal. Rasa iba mendalam menyeruak seketika didalam batin Azzam. Segera ia ingin mengirimkan surat agar Mun'im menunda kepergiannya.

Segera ia ingin mengirimkan surat agar Mun'im menunda kepergiannya. Rupanya Azzam kalah cepat. Mun'im telah memulai aksinya sebagai diplomat Mesir pertama yang melaksanakan tugas yang sangat berisiko tinggi.
.
Dengan Dakota mungil, Mun'im meninggalkan Bombay menuju negeri Timur nun jauh. Diluar dugaan, skenario yang telah ia rancang gagal diterapkan. Ketatnya penjagaan udara Belanda, ditambah sang pilot tak berani mengambil risiko, memaksa Mun'im untuk mendarat di Singapura. Penghujung Februari 1947, dia tiba di negeri yang terkenal akan pelabuhannya yang sibuk itu.
.
Di Singapura ia menguras habis tenaga dan pikiran. Segala upaya ditempuh, akhirnya dia mulai kehabisan ide. Dia sampaikan niatnya baik-baik kepada Konsulat Belanda di Singapura. Namun, Konsulat Belanda bersikeras menolak memberikannya visa masuk ke Indonesia.
.
Terlintas ide nekat didalam benak Mun'im. Tidak bisa lewat 'pintu depan', maka 'pintu belakang' pun tak masalah. Selama dua pekan, Mun'im berkeliling Singapura mencari info bagaimana caranya masuk ke Indonesia lewat 'pintu belakang'. Qadarullah, Mun'im mendapat informasi bahwa ada seorang wanita asal Amerika yang bersimpati kepada Indonesia bernama K'tut Tantri, yang pernah menembus blokade Belanda dari Jawa ke Singapura.
.
Mun'im dan K'tut pun bertemu secara diam-diam. Mun'im meminta K'tut agar bisa membantunya menembus blokade Belanda. K'tut menjelaskan bahwa menembus Singapura jauh lebih mudah daripada arah yang sebaliknya. Tapi Mun'im tetap bersikeras agar dapat masuk ke Indonesia, bagaimanapun caranya. Semangat ukhuwah islamiyyah benar-benar mengalir di nadi Mun'im.
.
Melihat kesungguhan Mun'im, K'tut pun akhirnya bersedia membantu sang utusan ini. Kasak-kusuk kiri kanan, akhirnya K'tut mulai menemukan solusi. Ia berhasil menemukan seorang pengusaha Inggris yang bersedia membantu mereka. Pengusaha itu memperkenalkan mereka ke seorang Wakil perusahaan Inggris ternama di Singapura. Singkat cerita, perusahaan itu bersedia membantu mereka, asalkan mereka mampu membayar biaya yang dibutuhkan yaitu sebesar sepuluh ribu dolar. Mun'im pun memberi penjelasan bahwa pemerintah Mesir dan Indonesia menjamin pembayaran biaya tersebut.

Surat utang piutang pun dibuat. Lalu mereka pun membuat kesepakatan mengenai lokasi pertemuan.
.
Hari yang ditentukan telah tiba. Embun pagi yang dingin menyelimuti bandara itu. Tampak satu dua petugas masih tertidur dengan pulasnya. Dengan langkah cepat dan napas terengah-engah mereka menuju landasan. Sang pilot telah menunggu. Secepat kilat mereka masuk ke dalam pesawat. Tak lama setelah itu, pesawat sudah meluncur meninggalkan landasan.
.
Kapal terbang itu terus melesat semakin jauh meninggalkan Negeri Singa. Bayang-bayang mengenai negeri nun jauh itu menyelimuti pikiran Mun'im. Seperti apakah Indonesia? Apakah dirinya akan tiba di Indonesia? Tiba-tiba saja sang kopilot datang menghampiri K'tut dan Mun'im. "Kita dibuntuti beberapa pesawat tempur Belanda," katanya.
.
Rupanya keberangkatan Mun'im menuju Yogyakarta berhasil diketahui oleh pihak Inggris di Singapura. Mengetahui hal ini, pihak Belanda memaksa pesawat menuju Jakarta. Namun, pilot kali ini agaknya berbeda dengan pilot yang ia sewa saat di Bombay. Dengan tenang kopilot itu meyakinkan bahwa mereka akan bisa kabur dari kejaran Belanda.
.
Aksi sang pilot pun dimulai! Tiba-tiba pesawat menukik tajam seperti hendak jatuh. Tak disangka, sang pilot membuat gerak-gerik pesawat semakin tak karuan. Strategi sang pilot berhasil, pesawat tempur Belanda pun menyerah untuk membuntuti mereka. Mun'im dan K'tut pun merasa lega. Kini, negeri yang dirindukan itu tepat berada di bawah pesawat mereka.
.
Tiga belas Maret 1947, Mun'im menginjakkan kakinya di jantung ibu kota, Yogyakarta. Kedatangan Abdul Mun'im membuat para pejabat kelimpungan. Hal ini dikarenakan kali pertama mereka kedatangan tamu resmi kenegaraan. Disisi lain, keberhasilan dan keberanian Mun'im menembus blokade Belanda benar-benar membuat awak media berdecak kagum. "Indonesia Nyata Tak Bisa Ditutup" tulis Harian Soera Merdeka di halaman depannya.
.
Kehadiran Mun'im menjadi angin sengar bagi Indonesia. Kedatangannya menggerakkan perjuangan, membangkitkan semangat. Walaupun tak disambut dengan mewah, Mun'im tetap begitu terkesan dengan Indonesia.

Tak pernah terbayang olehnya dapat rukuk dan sujud bersama saudara-saudara seimannya di negeri nan jauh, negeri yang bersimbah darah memperjuangkan kemerdekaannya.
.
Mun'im berada di Yogyakarta selama 4 hari. Ia menghabiskan waktunya dengan bersua dengan masyarakat luas, para pejabat hingga tokoh-tokoh Islam. Kedatangan Mun'im memang tak lama, namun memberi arti yang begitu mendalam bagi bangsa Indonesia yang kala itu berjuang dalam sunyi. Bahkan, menjelang kepergiannya, ia masih bisa memberikan tumpangan untuk delegasi Indonesia yang kelak dikenal sebagai misi diplomatik yang menuai kesuksesan besar.
.
Mun'im membuktikan bahwa semangat ukhuwah itu nyata adanya. Semangat untuk menolak menyerah. Semangat untuk menolak segala bentuk penjajahan. Semangat untuk memperjuangkan hak-hak kemanusiaan. Semangat untuk menjadi pencetak sejarah.
.
Namun, para pengkhianat sejarah kini dengan bebasnya berkata bahwa bangsa Arab tak punya andil dalam perjuangan negeri ini. Mereka dengan mudahnya melupakan perjuangan saudara kita dari negeri nun jauh disana yang datang, bertaruh nyawa, bersiasat hebat hingga tiba dengan selamat untuk menyampaikan segenggam pesan: Negeri Ini Tidak Sendiri, Bung!
.
Referensi:
Rizki Lesus. 2017. Perjuangan yang Dilupakan. Yogyakarta: Pro-U Media.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter